Jumat, September 04, 2015

Rendang: Nama dan Identitas Budaya

author photo

Rendang: Nama dan Identitas Budaya

ilustrasi memasak randang
Ilustrasi Memasak Randang

Lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang. Istilah ini menggambarkan keberagaman yang ada di Minangkabau khususnya dan Indonesia umumnya. Keberagaman bahasa, tradisi dan budaya lainnya. Berdasarkan informasi dari Depdiknas ( thn 20111)  yang di kutip oleh kompas, Indonesia memiliki 746 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke.

Pemetaan budaya harus berawal dari identifikasi bahasa. Bahasa yang sama umumnya budayanya sama, Dalam bahasa yang sama tersebut akan kita temui lagi dialek atau cara pengucapan yang berbeda pula, maka perbedaan dialek dalam bahasa yang sama tersebut akan kita temui budaya dan karakter yang berbeda pula.

Bahasa adalah identitas budaya, yang membedakan sebuah wilayah dengan wilayah yang lain. Perbedaan atau keberagaman itu adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia yang disatukan dalam pandangan hidup Pancasila, berbeda tetap bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara umum, walau semua kita menggunakan bahasa Indonesia, tapi dari pengucapan akan mudah ditebak mana orang padang, orang Jawa, orang Sunda, orang Makasar, orang Papua dan lainnya.

Suatu ketika saya pernah satu bis dalam perjalanan Jakarta dan Bandung, saat saya mau memulai obrolan dengan teman yang sebangku dalam bis tersebut, dia langsung menebak, " abang orang Padang ya...?', katanya dengan lembut. " Teteh orang Sunda ya..?, jawabku. Dan kami sama-sama tersenyum maklum,. Memang, bahasa menunjukan budaya atau daerah asal.  Saat bis melewati jalur puncak, saya lihat nama-nama daerah yang dilewati itu memakai kata Ci di awalnya, seperti, Ciawi, Cibedug, Cibogo, Cipayung, Cisarua dan lainnya. Dari informasi teman yang duduk disebelahku tadi menjelaskan bahwa Ci itu adalah bahasa Sunda artinya Sungai, jadi nama-nama daerah di Jawa Barat dan Banten  identik dengan bahasa Sunda. Sekali lagi saya paham, nama adalah identitas budaya....!.

Saya sering terpurangah, membaca nama daerah tempat asal saya, umumnya semua di Indonesiakan, seperti; Limau Manih disebut Limau Manis,  Pauh Limo disebut Pauh Lima, Banda Buek disebut Bandar Buat, Kampuang Pariuk disebut Kampung Periuk, Sungai Bangek disebut Sungai Banget, Aia Cama disebut Air Camar, Parak Karambi disebut Parak Kerambil  dan lainnya. Alamak, benar-benar orang kampung saya kehilangan Identitas budaya.

Yang lebih parah lagi, kalau ada yang mencoba meng-Indonesiakan gelar-gelar yang dipakai oleh orang Minang, seperti Datuk Gampo Alam, disebut Datuk Gempa Alam, Sutan Malano disebut Sutan Melana, Pandito Batuah disebut Pendeta Bertuah, Bandaro Basa disebut Bendera Besar....wah wah, makin kacau balacau jadinya.

Sebenarnya identitas budaya itu tidak saja tercermin dari penamaan daerah, penamaan gelar, tapi juga dari penamaan masakan/ kuliner sebuah daerah.

Hari ini ( Sabtu, 5/09/2015) , Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Padang menggelar sebuah acara yang namanya Festival Rendang Antar Kelurahan  di Taman Melati Padang. Festival yang di ikuti oleh 104 keluarahan yang ada di kota Padang ini konon menghabiskan biaya sekitar satu milyar rupiah.

Randang, adalah sebuah kuliner atau masakan unggulan yang dibuat oleh orang  Minang dan Randang sekarang sudah dikenal oleh seluruh dunia, berkat kiprah para pengusaha rumah makan Padang dan orang rantau.Jarang orang Minang menyebut Randang menjadi rendang, tapi menulis Randang menjadi Rendang sering banget.Menurut saya, ini adalah sebuah kegalauan budaya yang tercerabut dari akarnya.

Pangek Masin tetaplah jadi pangek masin, tidak usah disebut Pengat Mesin. Seperti Asam Padeh jagan dirobah jadi Asam Pedas, Goreng Maco jagan jadi Goreng Maca, Gulai Bantai jangan dirobah jadi Gulai Bentai, Palai Bada jangan jadi Pelai Badar dan lainnya.

Dan Randang, tetap jadi Randang. Jangan lagi jadi Rendang....!








This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement